Air mata yang mengalir, menghancurkan hatiku.
Maafkan aku, Al..
Hidup Alvin yang bisa dibilang sempurna rusak ditimpa kemalangan beruntun. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan. Sebuah truk besar menabrak orang tuanya saat mereka hendak menyeberangi jalan. Truk itu tak berhenti setelah menabrak orangtuanya. Tabrak lari.
Alvin yang saat itu masih terpukul oleh kematian orang tuanya tidak tahu-menahu mengenai perusahaan ayahnya. Bagaimana mungkin ia tahu, ia baru tamat SMA. Urusan perusahaan ia serahkan pada pamannya yang kebetulan adalah wakil ayahnya di perusahaan. Paman tak berhati nurani itu merebut perusahaan yang merupakan hak Alvin. Alvin tak tahu bahwa ia sendiri yang menandatangani pemindahtanganan perusahaan itu.
“Tanda tangani saja. Paman akan mengurus semuanya”, kata pamannya dengan senyum menenangkan. Alvin yang sudah tak memiliki siapa-siapa lagi selain pamannya menandatangani berkas tersebut tanpa membacanya. Kepercayaannya dikhianati.
Seakan penderitaan Alvin belum cukup, Aku meninggalkannya. Kami sudah pacaran selama lima tahun. Sekarang aku meninggalkannya, di saat ia tak memiliki apa pun, di saat ia tak memiliki siapa pun, di saat ia paling membutuhkan seseorang. Aku meninggalkannya.
“Apakah kau meninggalkanku karena aku sudah tak memilki apa-apa? Hartakah yang selama ini kau incar?” tanyanya setelah menyeka air mata yang mengalir tanpa ia sadari. Alvin bertanya dengan suara yang nyaris tak terdengar, hanya berupa bisikan samar.
Berdiri di depannya, aku hanya dapat mengucapakan kata maaf ribuan kali.
“Jika harta yang kau mau, aku bisa mendapatkannya...” Alvin terdiam beberapa saat, “...dengan segala cara.” lanjutnya.
Aku bisa merasakan kebencian yang mendalam saat Alvin menyelesaikan kalimatnya. Aku ingin mencegahnya. Aku ingin mendukungnya. Aku ingin berada di sampingnya. Tidak, aku tidak bisa. Aku meninggalkannya.
Aku bisa merasakan kebencian yang mendalam saat Alvin menyelesaikan kalimatnya. Aku ingin mencegahnya. Aku ingin mendukungnya. Aku ingin berada di sampingnya. Tidak, aku tidak bisa. Aku meninggalkannya.
Seorang wanita asing paruh baya melihat Alvin dan menyapanya.
“Alvin, is that you?”
“Yes. Good afternoon, mam”, sapa Alvin tanpa senyum.
“Thanks for coming. Are you okay?”
“....”
“I'm sorry.”
“Farewell, mam.”
“May God be with you.”
Alvin hanya menggangguk.
I've never believed in him, and never will I.
Alvin pergi dengan kebencian memenuhi hati dan pikirannya dari pemakaman itu. Pergi dan berjanji pada dirinya sendiri. Ia tak akan menangisi mereka yang meninggalkannya. Ia akan mengambil kembali perusahaan ayahnya dari pamannya, dengan segala cara. Ia tak peduli caranya bersih atau kotor. Pikiran ini membuatnya tersenyum sinis. Sejak kematian orangtuanya, ia belum pernah tersenyum lagi. Senyum pertamanya adalah senyum sinis pada dirinya yang memikirkan cara menjatuhkan pamannya, paman kesayangannya...dulu.
Ironis sekali.
Wanita asing itu memandangi kepergian Alvin dengan khawatir.
Something's wrong with him. But I'm sure he'll be okay. God, his parents and you, my dear will always be with him, right?
Seakan dapat melihatku, ibu tersenyum hangat padaku. Aku dapat melihat ada kesedihan di senyum hangatnya itu. Ibu meletakkan rangkaian bunga mawar merah di depan batu nisan bertuliskan ROSALINE JULIA SUMMER. Namaku. Kepergianku membuat ibuku sebatang kara, tapi tidak hancur, seperti halnya Alvin. Ibuku tegar dan yakin bahwa semua yang terjadi adalah rencana Tuhan. He knows what's best. Kalimat yang selalu ibu ucapkan.
Penyebab kematianku sama dengan ayah. Penyempitan di saluran pernapasan atau yang lebih dikenal dengan Asma. Aku sedang menuju ke tempat Alvin saat penyakitku kambuh. Mendengar kabar meninggalnya orangtua Alvin, aku buru-buru mengambil kunci mobil dari laci dan langsung berangkat ke rumah sakit. Aku lupa membawa obatku. Saat di mobil, penyakitku kambuh, aku mencari obat yang kuragukan ada di dalam mobil. Alvin selalu menyuruhku menaruh satu inhaler di mobil untuk berjaga-jaga. Aku selalu mengabaikannya.
“Tidak apa-apa. Aku selalu bawa satu di tas. Lagipula, aku jarang pakai mobilku”, jawabku dengan santai tiap ia mengingatkanku.
Alvin selalu menaruh satu inhaler di mobilnya karena ia sering menjemputku. Selalu. No wonders he blames me. Kalau aku mendengarkan nasehatnya, aku pasti masih di sampingnya, mendukungnya. Meskipun tak dapat membantu banyak, setidaknya ia masih memiliki seseorang untuk bersandar. Kalau saja...aku masih hidup.
Rabu, 15 Februari 2012
Inspired by: http://ertalin.blogspot.com/2011/12/my-first-ff-kepergianmu.html
Inspired by: http://ertalin.blogspot.com/2011/12/my-first-ff-kepergianmu.html