Jumat, 10 Agustus 2012

To Save My Dear Friend - Part 2



TO SAVE MY DEAR FRIEND
~ PART 2 ~


**Kebosanan Rihan**


Apa yang akan kau rasakan setelah memiliki semuanya? Kesenangan? Kepuasan? Kebanggaan? Wrong. Wrong. Wrong. Jawabannya bosan. That's the only thing I feel for years. Since when? My first memory is boredome. How long do you think that is.

Aku mencoba segala cara untuk menghilangkan kebosanan ini, bahkan mengencani seorang Malaikat etnis Putih. Dia menawarkan dirinya padaku, aku menerima. Done. I'm in relationship. Hubungan yang dianggap tabu ini awalnya menghilangkan sedikit kebosananku. Sekarang aku hanya merasa sudah waktunya aku mencari kegiatan lain. She's boring. She can talk about flower all day. I get it. You have never seen any flower at your place, neither have I, but I won't talk about it the whole day.

Bunga itu makhluk hidup terindah yang pernah kulihat.”

Bunga ini benar-benar indah.”

Kuharap bunga-bunga ini dapat hidup di Lapisan Atas..ah, semoga mereka dapat hidup di Lapisan Bawah juga.”

and on...and on...and on... I'm bored of this.

Apa kau tidak memiliki topik pembicaraan lain selain bunga? Aku bosan.” kataku padanya tanpa intonasi dengan ekspresi yang...tidak ada.

Ah. Maaf.”

Liana, Malaikat etnis Putih yang kukencani ini memiliki kecantikan yang tak dapat kutemui di Lapisan Bawah. Rambut putihnya yang panjang, warna iris matanya yang putih, cara berjalannya yang anggun...sungguh, ia makhluk tercantik dan teranggun yang pernah kutemui sampai saat ini. Tapi hanya itu. Tak lebih.

Kami duduk di atas sebuah batu yang terletak di tengah padang bunga Fullmoon yang mekar. Aku dengan setelan hitamku, dia dengan setelan putihnya. Di malam yang diterangi bulan penuh dan cahaya dari bunga-bunga Fullmoon yang mengelilingi kami.

Aku agak gugup bertemu denganmu” katanya dengan senyum yang sepertinya dipaksakan. Mungkin ia agak terluka karena aku bilang bosan.

Ini pertama kalinya aku melihat bunga Fullmoon. Bunga ini benar-benar indah. Meski hanya mekar di bulan penuh, aku benar-benar menyuka..ah. Maaf.” ia berhenti di tengah-tengah kalimatnya saat bertemu pandang denganku – I'm still expressionless here. Pretty sure it's not my fault she stopped..

Lagi-lagi aku membicarakan soal bunga.”,..okay, it is my fault.

Maaf...” bisiknya denga suara parau. Tanda-tanda akan menangis. Tiap wanita yang berhubungan dengaku selalu berakhir dengan air mata. Padahal aku tak melakukan apa pun. Sungguh aneh.

Ia tidak menangis. Hanya diam. Tak keberatan keheningan ini berlanjut, aku tak berkata apa pun. Meskipun mengatakan sesuatu, hasilnya akan sama saja. Berbicara dengannya membosankan.

Rihan.” ia mengucapkan namaku dengan suara khas ras Malaikat yang merdu. Aku memandangnya.

Apa kau...” wajahnya yang khawatir tidak ia sembunyikan, pertanyaannya yang menggantung menunjukkan keraguannya dalam bertanya, but she asked anyway. Dia menanyakan pertanyaan yang jawabannya pasti.

...mencintaiku?” ia memandangku dengan wajah yang khawatir, tapi aku dapat melihat keputusasaan di matanya dan... – ini di luar dugaanku – sedikit harapan. Apa yang ia harapkan dari pertanyaan yang memiliki jawaban pasti?

Tidak.” jawabku tanpa ekspresi.

Sudah kuduga.” senyum pilu kembali menghiasi wajahnya. Kali ini, senyum pilunya diikuti dengan air mata. Ia menangis dalam diam. Wajahnya ketika menangis menghilangkan kebosananku sejenak. Dirinya yang kuanggap tak lebih dari makhluk yang cantik dan anggun memperlihatkan keindahan yang tak kukira ada pada dirinya.

Berkali-kali aku melihat wajah wanita yang menangis. Tak pernah sekalipun perasaan bosanku hilang karenanya. Kesanku pada tangisan wanita adalah air mata yang mengalir di wajah yang berbeda.

Ini pertama kalinya perasaan bosan hilang dari dalam diriku karena tangisan wanita, terpesona oleh ekspresi Liana saat menangis dalam diam dengan senyum pilunya yang perlahan memudar. Aku memandangnya dengan perasaan penasaran yang tak dapat kubendung. Memperhatikan setiap perubahan di wajahnya, tubuhnya, gerak-geriknya. Segala detil yang dapat kutangkap dengan mata ini.

Saat senyum pilunya yang perlahan memudar, hilang dari wajahnya. Air mata yang tadinya hanya jatuh setetes, dua tetes, mengalir tak terkendali. Melihatnya, hatiku tak sakit atau merasa bersalah, hanya debaran pelan yang dapat kutenangkan dengan tiap tarikan nafasku – this is weird. Aku tak pernah harus menenangkan debaran jantungku.

Liana.” mulutku bergerak sendiri, menyuarakan namanya. What just happened? Aku tak bermaksud melakukannya. Aku bahkan tak memikirkan namanya sedikitpun. Bagaimana mungkin aku.. Perasaanku yang bercampur antara marah, kaget, dan bingung – didominasi oleh perasaan marah – terhenti saat Liana memandangku, it is more accurate if I say she's starring at me.

She looked at me in astonishment, then said, “Ini pertama kalinya kau menyebut namaku.” dan senyum pun menghiasi wajahnya. Bukan senyum pilu, maupun senyum terpaksa, tetapi senyum tulus yang bahkan menghentikan aliran air matanya.

Debaranku berhenti. Perasaan bosanku muncul. Ia kembali menjadi makhluk cantik dan anggun. Tak lebih. Her smile is beautiful. Full stop.


**Keputusan Aine**

Segala kemungkinan yang ada telah kupikirkan. Hanya ini cara yang paling efektif menurutku.

Lian... Maafkan aku... Aku sudah memutuskan untuk melakukannya. Mungkin kau kau akan sulit menerimanya, tapi tekadku sudah bulat.

Aku akan menyelematkanmu dari cengkeraman iblis itu, lalu kau akan hidup dengan tenang dan bahagia.

Aku akan membunuhnya.


**Perasaan Rihan**

Debaran itu....Am I in love with her? Tidak mungkin. Am I in love with her teary face? Tidak mungkin. Itu hanya debaran pelan yang bahkan tak membuat tubuhku panas. Aku akui wajahnya saat menangis menghilangkan kebosananku, tapi mencintainya?

Tidak mungkin.


Bersambung ke To Save My Dear Friend - Part 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar