TO SAVE MY DEAR FRIEND
~ PART 2 ~
**Kebosanan
Rihan**
Apa
yang akan kau rasakan setelah memiliki semuanya? Kesenangan?
Kepuasan? Kebanggaan? Wrong. Wrong. Wrong. Jawabannya bosan.
That's the only thing I feel for years. Since when? My first
memory is boredome. How long do you think that is.
Aku
mencoba segala cara untuk menghilangkan kebosanan ini, bahkan
mengencani seorang Malaikat etnis Putih. Dia menawarkan dirinya
padaku, aku menerima. Done. I'm in relationship. Hubungan yang
dianggap tabu ini awalnya menghilangkan sedikit kebosananku. Sekarang
aku hanya merasa sudah waktunya aku mencari kegiatan lain. She's
boring. She can talk about flower all day. I get it. You have never
seen any flower at your place, neither have I, but I won't talk about
it the whole day.
“Bunga
itu makhluk hidup terindah yang pernah kulihat.”
“Bunga
ini benar-benar indah.”
“Kuharap
bunga-bunga ini dapat hidup di Lapisan Atas..ah, semoga mereka dapat
hidup di Lapisan Bawah juga.”
and
on...and on...and on... I'm bored of this.
“Apa
kau tidak memiliki topik pembicaraan lain selain bunga? Aku bosan.”
kataku padanya tanpa intonasi dengan ekspresi yang...tidak ada.
“Ah.
Maaf.”
Liana,
Malaikat etnis Putih yang kukencani ini memiliki kecantikan yang tak
dapat kutemui di Lapisan Bawah. Rambut putihnya yang panjang, warna
iris matanya yang putih, cara berjalannya yang anggun...sungguh, ia
makhluk tercantik dan teranggun yang pernah kutemui sampai saat ini.
Tapi hanya itu. Tak lebih.
Kami duduk di atas
sebuah batu yang terletak di tengah padang bunga Fullmoon yang mekar.
Aku dengan setelan hitamku, dia dengan setelan putihnya. Di malam
yang diterangi bulan penuh dan cahaya dari bunga-bunga Fullmoon yang
mengelilingi kami.
“Aku agak gugup
bertemu denganmu” katanya dengan senyum yang sepertinya dipaksakan.
Mungkin ia agak terluka karena aku bilang bosan.
“Ini
pertama kalinya aku melihat bunga Fullmoon. Bunga
ini benar-benar indah. Meski hanya mekar di bulan penuh, aku
benar-benar menyuka..ah. Maaf.” ia berhenti di tengah-tengah
kalimatnya saat bertemu pandang denganku – I'm still
expressionless here. Pretty sure it's not my fault she stopped..
“Lagi-lagi
aku membicarakan soal bunga.”,..okay, it is my fault.
“Maaf...”
bisiknya denga suara parau. Tanda-tanda akan menangis. Tiap wanita
yang berhubungan dengaku selalu berakhir dengan air mata. Padahal aku
tak melakukan apa pun. Sungguh aneh.
Ia tidak menangis.
Hanya diam. Tak keberatan keheningan ini berlanjut, aku tak berkata
apa pun. Meskipun mengatakan sesuatu, hasilnya akan sama saja.
Berbicara dengannya membosankan.
“Rihan.” ia
mengucapkan namaku dengan suara khas ras Malaikat yang merdu. Aku
memandangnya.
“Apa kau...”
wajahnya yang khawatir tidak ia sembunyikan, pertanyaannya yang
menggantung menunjukkan keraguannya dalam bertanya, but she asked
anyway. Dia menanyakan pertanyaan yang jawabannya pasti.
“...mencintaiku?”
ia memandangku dengan wajah yang khawatir, tapi aku dapat melihat
keputusasaan di matanya dan... – ini di luar dugaanku – sedikit
harapan. Apa yang ia harapkan dari pertanyaan yang memiliki jawaban
pasti?
“Tidak.” jawabku
tanpa ekspresi.
“Sudah kuduga.”
senyum pilu kembali menghiasi wajahnya. Kali ini, senyum pilunya
diikuti dengan air mata. Ia menangis dalam diam. Wajahnya ketika
menangis menghilangkan kebosananku sejenak. Dirinya yang kuanggap tak
lebih dari makhluk yang cantik dan anggun memperlihatkan keindahan
yang tak kukira ada pada dirinya.
Berkali-kali aku
melihat wajah wanita yang menangis. Tak pernah sekalipun perasaan
bosanku hilang karenanya. Kesanku pada tangisan wanita adalah air
mata yang mengalir di wajah yang berbeda.
Ini pertama kalinya
perasaan bosan hilang dari dalam diriku karena tangisan wanita,
terpesona oleh ekspresi Liana saat menangis dalam diam dengan senyum
pilunya yang perlahan memudar. Aku memandangnya dengan perasaan
penasaran yang tak dapat kubendung. Memperhatikan setiap perubahan di
wajahnya, tubuhnya, gerak-geriknya. Segala detil yang dapat kutangkap
dengan mata ini.
Saat senyum pilunya
yang perlahan memudar, hilang dari wajahnya. Air mata yang tadinya
hanya jatuh setetes, dua tetes, mengalir tak terkendali. Melihatnya,
hatiku tak sakit atau merasa bersalah, hanya debaran pelan yang dapat
kutenangkan dengan tiap tarikan nafasku – this is weird. Aku
tak pernah harus menenangkan debaran jantungku.
“Liana.” mulutku
bergerak sendiri, menyuarakan namanya. What just happened? Aku
tak bermaksud melakukannya. Aku bahkan tak memikirkan namanya
sedikitpun. Bagaimana mungkin aku.. Perasaanku yang bercampur antara
marah, kaget, dan bingung – didominasi oleh perasaan marah –
terhenti saat Liana memandangku, it is more accurate if I say
she's starring at me.
She looked at me
in astonishment, then said, “Ini pertama kalinya kau menyebut
namaku.” dan senyum pun menghiasi wajahnya. Bukan senyum pilu,
maupun senyum terpaksa, tetapi senyum tulus yang bahkan menghentikan
aliran air matanya.
Debaranku berhenti.
Perasaan bosanku muncul. Ia kembali menjadi makhluk cantik dan
anggun. Tak lebih. Her smile is beautiful. Full stop.
**Keputusan
Aine**
Segala kemungkinan
yang ada telah kupikirkan. Hanya ini cara yang paling efektif
menurutku.
Lian... Maafkan
aku... Aku sudah memutuskan untuk melakukannya. Mungkin kau kau akan
sulit menerimanya, tapi tekadku sudah bulat.
Aku akan
menyelematkanmu dari cengkeraman iblis itu, lalu kau akan hidup
dengan tenang dan bahagia.
Aku akan
membunuhnya.
**Perasaan
Rihan**
Debaran itu....Am I
in love with her? Tidak mungkin. Am I in love with her teary face?
Tidak mungkin. Itu hanya debaran pelan yang bahkan tak membuat
tubuhku panas. Aku akui wajahnya saat menangis menghilangkan
kebosananku, tapi mencintainya?
Tidak
mungkin.
Bersambung ke To Save My Dear Friend - Part 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar